Hembusan Cinta
Karya
Hana Maedi
“fan dimana lo?” suara kiki dari seberang telepon.
“gue di bukit biasa, belakang R.S,” jawabku singkat dan
mematikannya.
Seperti
biasa aku selalu menghabiskan waktu istirahatku di bukit dekat tempat kerjaku,
me-relax kan anggota tubuh dan fikiran ku. Ku hentikan langkah kaki ini, ketika
melihat seorang gadis duduk di tempat yang selalu ku tempati. Wajahnya merah
padam. Terlihat jelas bahwa dia sedang menangis. Aku mengingatnya, aku
mengenalnya, dia persis seperti 6 tahun yang lalu. Duduk menyendiri dan
menangis sambil menekukkan lututnya. Kuhampiri dia perlahan dan berdiri tepat
di depannya. Matanya terperejap dan melihat ke arah ku.
“Sedang sedih?” tanya ku sembari melangkah dan
duduk tepat di sampingnya.
Tak
ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Aku mencoba berfikir realistis tentang
apa yang terjadi padanya. Tapi hati ini terluka ketika melihatnya menangis.
“ini adalah tempat favoritku, suasananya sangat bersahabat
dengan ku. Apa kau juga merasakannya?” tanya ku.
“hhmm..”
jawabnya yang sama sekali tak menoleh ke arah ku. Ku luruskan kakiku. Dan
kutemukan kertas biru yang yang indah, sepertinya undangan. Hatiku semakin
sakit ketika tahu bahwa dia menangisi hal yang tidak aku inginkan.
“kamu mau nikah?” tanya ku sembari membuka lembaran
kertas undangan pernikahannya.
“Diana Putri & Aldi Rahayu P” lanjutku dengan
sedikit sunggingan di bibirku. Aldi, ternyata mereka jadi juga.
“tidak jadi, alias gagal.. dia di jodohkan oleh
keluarganya atas dasar perusahaan. Ya menurut aku sih, zaman sekarang itu
mustahil tentang perjodohan-perjodohan. Dan aku gak abis fikir, aldi diam aja
dan seharusnya dia menolak perjodohannya! Karena dia sudah niat menikah dengan
ku bulan besok. Bahkan undangan sudah tersebar. Tapi dia dengan santainya hanya
mengucapkan kata maaf dan selamat tinggal,” tutur Diana yang tampak
kesal. Tapi aku merasa senang akan penjelasan itu. Jahat.
“hemmmm.. gitu, terus kamu nangisin apa?” tanya ku
basa basi.
“ya aku kesel, bayangin dong, kita udah 6 tahun pacaran
bahkan aku sudah kenal dengan orang tuanya begitupun sebaliknya,”
ujarnya geram.
“cinta itu gak perlu dihitung berapa lama kamu pernah
bersama dia, cinta itu memang tak selamanya akan berujung manis, dan cinta itu
tak bisa kita prediksi. Orang yang bersama kita saat ini belum tentu jodoh
dengan kita, mungkin dia hanya pelengkap jalan cerita kita untuk menemukan
jodoh kita. Ketika cinta itu datang dia akan berkata ‘ya’ dialah cintamu. Jadi
jika mengalami jatuh cinta simpanlah perasaan itu, karena jika benar dia, pasti
dia pun akan merasakan hal yang sama,” ujarku dengan kata-kata yang sebenarnya sedikit konyol, karena aku
pun tidak tahu maknanya.
Diana
tampak termangu setelah mendengarkan kalimat konyol ku itu. Tapi kubiarkan dia
berfikir, mungkin dia sedang mencerna perkataanku, dan aku bisa menanyakan
artinya nanti. Kulihat jam tanganku yang melekat erat di tangan kanan ku sudah
menunjukan pukul 15:28. Aku memilih untuk mengakhirinya sebelum teman ku kiki
melihatnya. Dengan penuh senyuman Kurogoh saku baju ku dan mengambil pulpen
biru yang terselip.
“semoga sukses
akan cerita cintamu Diana.. assalamua’laikum,” ujar ku ternyum dan
bangkit.
“ya, terimakasih, wa’alaikumsalam,” jawabnya
membalas senyumanku. Aku pun melangkah pergi meninggalkan bukit ini. Namun
sebuah suara yang membuatku terhenti.
“hey.. tunggu, siapa nama-mu?”teriaknya. aku pun
menyuruhnya untuk membuka undangan dekat sepatunya dengan isyarat
sejadi-jadinya. Tapi dia terlitah tidakmengerti maksudku. Ponselku terus
bergetar manandakan aku harus cepat kembali ke R.S akupun segera menuju tempat
kerjaku, walau sebenarnya aku masih ingin berbincang dengannya. Entahlah dia
akan tahu namaku atau tidak tapi kalau jodoh mungkin kita akan di pertemukan
kembali.
Senja
menuju petang, langit orange yang indah serta suara jangkrik yang bersautan. Ku
lihat jam tanganku menunjukan pukul 17:45. Waktu yang sangat ku tunggu-tunggu. Weekend.
Harinya aku beristirahat.
“gak pulang fan?” tanya kiki yang merapihkan
perlengkapannya.
“nanti lagi deh, masih betah, mau tiduran dulu,”
“oh iya tadi lo bilang kemarin lo ketemu diana?”
tanya kiki mendekat ke arah ku.
“oooh iya.. tapi dia gak kenal sama gue..,” jawabku
sedikit malu.
“miris banget hidup lo, suka yang terpendam selama 7
tahun, tapi orang yang lo suka gak kenal sama lo? hahahhh” tawanya
berbahagia.
“ya, Allah itu adil ki, mungkin gue harus sabar sekarang,
sabar itu buahnya indah kiki...,” jawabku menghibur diri.
“ lo udah sabar 7 tahun, terus manisnya kapan? Asal lo
tahu ya yang manis itu gula...! ” ujar kiki dan ngibrit pergi. Dasar!!
“magrib dulu woy!!!” teriak ku kepada kiki.
“ntar di rumah aje,” jawabnya seperti anak kecil.
Akupun
melangkah menuju masjid megah di samping R.S untuk menunaikan shalat magrib.
Sesudah menjalankan shalat akupun menuju halte untuk pulang menuju rumah. Salju
yang membuat suhu begitu dingin, mungkin seperti hatiku, mungkin.
“alfan?” ujar gadis di sampinngku. Aku tidak
mengenalnya, karena dia menggunakan syal yang menutupi separuh wajahnya.
“ini aku diana” dia pun membuka syalnya.
“oh aku kira siapa?” tawaku ringan. Tunggu, dia
mengenalku?
“kau mengenalku?” tanyaku sedikit kikuk. Diana
hanya membalas dengan senyuman. Dia cantik.
“oh iya aku lupa, aku kan yang menuliskan nama ku di
unganganmu,”
“tidak, ternyata aku mengenalmu cukup lama. Kamu teman
seangkatan ku kan saat di SMA?” tanya diana.
“oh kau menyadarinya,” jawabku sedikit malu.
“tadinya sih tidak, tapi saat membaca nama-mu di undangan,
aku merasa tidak asing dengan nama-mu, jadi ku membaca buku harianku dan
menemukan namamu di sana,”
Aku
termangu mendengarnya. Suara gadis ini, ingin selalu ku dengar.
“ini, lihat aku masih menyimpannya” tutur diana
menunjukan kalung berliontin kancing biru. Ah itu ungkapan cintaku saat
kelulusan.
“terimakasih sudah menyukaiku saat SMA, dan maaf aku tidak
menyadarinya,” ujarnya sedikit merasa bersalah.
persaan
ku padamu saat SMA, masih sama sampai saat ini gumamku, aku terbawa atmosfer
yang membuat diriku menjadi seberani ini. Gadis di sampingku saat ini, aku
sangat menyayanginya, diana...
-TAMAT-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar